RESOLUSI AS: LANGKAH MAJU, MAMUN ROHINGYA BUTUH LEBIH DARI ITU
Parlemen Amerika Serikat pada Kamis menerbitkan resolusi yang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap Muslim Rohingya adalah genosida.
Parlemen AS layak diberi tepuk tangan karena mengimplementasikan kebijakan itu, menyusul deklarasi Museum Memorial Holocaust AS bahwa Myanmar memang melakukan genosida dan kejahatan kemanusiaan.
Resolusi parlemen itu berbunyi: “Setiap badan pemerintah dan multilateral (di dunia) harus menyebut kekejaman semacam itu sebagai ‘kejahatan terhadap kemanusiaan,’ ‘kejahatan perang,’ dan ‘genosida’.”
Selain itu, resolusi tersebut juga menuntut Jenderal Min Aung Hlaing – panglima tertinggi dalam daftar komandan militer Myanmar – untuk bertanggung jawab atas kejahatan itu.
Terlepas dari penurunan kekuasaan AS secara global, AS ternyata masih mampu mempertahankan pengaruh dan jangkauannya, baik secara militer, ekonomi, dan ideologis. Sikap tegas Parlemen AS berpotensi besar untuk benar-benar mengakhiri penderitaan 1,5 juta jiwa Rohingya pengalaman yang berada di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh maupun tempat-tempat asal mereka di Rakhine.
Namun, seruan Dewan Keamanan PBB untuk merujuk masalah ini ke Mahkamah Pidana Internasional atau Mahkamah Pidana Internasional ad hoc di Myanmar, atau bahkan sanksi ekonomi saja, tidak akan berdampak besar pada militer Myanmar, yang telah melancarkan pembersihan etnis Rohingya sejak tahun 1970-an.
Hal itu dapat dihindari jika AS siap untuk merealisasikan gagasan intervensi militer di Myanmar, seperti Armada Pasifik AS yang meluncurkan serangan rudal dari perairan internasional Teluk Bengal ke markas militer dan tempat tinggal para komandan tinggi militer di Naypyidaw. Aksi militer atas dasar intervensi kemanusiaan belum pernah terjadi sebelumnya.
Dalam sebuah diskusi publik di Dewan Hubungan Luar Negeri di New York beberapa bulan lalu, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad secara terbuka menyarankan “masuk” untuk mengakhiri kejahatan kemanusiaan.
Pilihan tak realistis
Intervensi militer mungkin bukan pilihan yang realistis karena sejumlah alasan. Salah satunya karena Presiden AS Donald Trump benar-benar tidak peduli tentang berita pasukan Myanmar membakar bayi-bayi Rohingya. Trump bahkan tak sekalipun bercuit soal “Rohingya”.
Selain itu, AS terjepit di antara India dan China, yang berlomba-lomba untuk mengukuhkan pengaruhnya di Myanmar melalui strategi, militer, dan ekonomi. Myanmar mungkin bukan tempat yang ideal untuk serangan drone atau rudal AS.
Meskipun begitu, bukan tidak mungkin bahwa Amerika Serikat pada akhirnya akan menerapkan sanksi ekonomi. Lima investor terbesar di Myanmar adalah China, Thailand, Singapura, Hong Kong, dan Inggris.
Dalam situasi saat ini, tidak satupun dari negara tersebut yang tampaknya akan mengikuti jejak AS. China menganggap Myanmar sebagai bagian integral dari proyek One Belt, One Road, di mana dia berusaha menciptakan kembali Tata Dunia Baru dengan Beijing sebagai pusat kekaisarannya.
Negara tetangga Myanmar lainnya, termasuk India, mendasarkan kebijakan Myanmar mereka pada kepentingan komersial.
Sebagai mantan penguasa kolonial Myanmar, Inggris yang tengah putus asa mengupayakan kesepakatan bilateral di luar Uni Eropa pun mengejar kepentingan komersial sambil berlaku sebagai “pemegang pena” atas resolusi Myanmar.
Ketika diwawancarai oleh Mizzima News Group, Duta Besar Inggris Daniel Chugg memprotes genosida dan menekankan misi duta besarnya. “Kami adalah investor terbesar kelima di Myanmar. Total investasi kami di sini mencapai lebih dari USD4 miliar dan perdagangan kami sepanjang tahun lalu mencapai sekitar USD500 juta yang naik 20 persen dari tahun sebelumnya. Saya berharap angka-angka itu akan meningkat ketika saya berada di sini,” ujar dia.
Langkah-langkah yang harus diambil
Kebenaran menyakitkan yang biasanya terlupakan adalah bahwa tidak ada genosida yang dilakukan oleh negara pelaku itu sendiri. Jika kita melongok pada genosida Nazi, Bosnia, hingga Rwanda, selalu ada negara yang berkolaborasi dan “hanya menyaksikan saja”.
Langkah nyata pertama untuk mengakhiri genosida di Myanmar adalah konferensi internasional negara-negara yang telah menyatakan keprihatinan mereka tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Myanmar.
Ada 47 negara anggota yang memberikan suara untuk Resolusi Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk mendesak pertanggungjawaban para pelaku kejahatan internasional. Meskipun AS tak lagi menjadi anggota dewan, AS adalah tempat terbaik untuk menyelenggarakan konferensi semacam itu.
Museum Memorial Holocaust AS yang telah melakukan pekerjaan luar biasa dalam pemantauan genosida dan penelitian tentang situasi Rohingya, akan menjadi mitra yang ideal untuk memfasilitasi konferensi semacam itu.
Salah satu tujuan utama konferensi internasional adalah untuk membentuk koalisi pemerintah yang siap menyatukan sumber daya, pengaruh strategis, dan bahkan aset militer mereka untuk memberikan tekanan yang cukup ke militer Myanmar dan kepemimpinan Aung San Suu Kyi.
Tanpa tekanan yang cukup, Myanmar – pemerintah sipil dan militer – tidak akan menerima Rohingya sebagai warga negara sah dan setara, dan juga tidak akan memberikan jaminan apapun bagi orang-orang Rohingya yang selamat.
Faktanya, resolusi genosida Myanmar menyebutkan bahwa pemerintah sipil Myanmar yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint belum mengambil langkah nyata untuk mengatasi kekerasan Rohingya. Mereka juga gagal menciptakan kondisi yang aman, termasuk menghalangi akses ke Rakhine Utara bagi UNHCR, UNDP, organisasi kemanusiaan, dan jurnalis.
Hingga saat ini, Aung San Suu Kyi sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia akan mengalah. Mengenai skenario ini, hanya aliansi dari negara-negara yang secara luas didukung oleh gerakan masyarakat sipil dan hak asasi manusialah yang dapat memberikan tekanan yang cukup pada Myanmar.
Maung Zarni
[Maung Zarni adalah salah satu penulis “The Slow-Burning Genocide of Myanmar’s Rohingya” (Pacific Rim Law and Policy Journal, 2014) dan koordinator Koalisi Pembebasan Rohingya]